Pengertian dan Serba-serbi I'tikaf Dalam Tinjauan 4 Mazhab - REVORMER.COM
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
WPDealer 728x90

Pengertian dan Serba-serbi I'tikaf Dalam Tinjauan 4 Mazhab

Pengertian I'tikaf dalam 4 Mazhab


Istilah I’tikaf  untuk sebagian besar masyarakat belum banyak yang paham karena mungkin jarang pembahasannya,  sehingga dikalangan masyarakat sekedar mengetahui bahwa  i’tikaf itu berdiam diri di masjid selebihnya tidak mengetahui amalan atau etika apa saja yang harus dikerjakan, syarat-syarat i’tikaf, hukum dan macam-macam i’tikaf dan lain sebagainya yang berhubungan dengan i’tikaf

Bahkan ada yang menganggap bahwa i’tikaf hanya berlaku di bulan ramadhan saja, walaupun sebenarnya pada hari-hari lain mereka melakukan i’tikaf secara tidak langsung.


Definisi atau Pengertian I’tikaf



Dalam bahasa arab, kata I’tikaf artinya berdiam dan bertaut pada sesuatu, entah itu diamnya baik maupun buruk, dan dilakukan secara terus menerus. 
Sedangkan dalam pengertian syari’ah agama, I’tikaf berarti berdiam diri di masjid sebagai ibadah yang disunahkan untuk dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan suci Ramadhan, dan lebih dikhususkan sepuluh hari terakhir untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadr.


وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَابَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”. (QS Al Baqarah 2:125)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Dari Abu Hurairah رضي الله عنه. ia berkata, Rasulullah biasa beri’tikaf pada tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia, beliau telah beri’tikaf selama dua puluh hari (Haditst Riwayat Bukhari).

Sedangkan secara Istilah, I’tikaf didefinisikan berbeda-beda oleh para ulama. Meskipun sebenarnya, definisi-definisi tersebut mengarah kepada satu pengertian yang sama, jadi perbedaannya lebih karena beda dari segi penyusunan kata-kata. 

Berikut definisi dari mazhab empat tentang pengertian I’tikaf, antara lain :


1. Menurut Imam Hanafi : 
I'tikaf adalah berdiamnya seseorang di masjid – yakni masjid jami’- disertai puasa dan niat I’tikaf.

2. Menurut Imam Maliki :
 I’tikaf adalah berdiamnya seorang muslim yang mumayiz di masjid dengan disertai puasa dengan menjauhi jima’, selama sehari semalam atau lebih dengan tujuan ibadah disertai niat.

3. Menurut Imam Syafi’i: 
I'tikaf adalah berdiamnya seseorang di masjid dengan pengertian khusus dengan disertai niat.

4. Menurut Imam Hambali : 
I'tikaf adalah berdiamnya seseorang di masjid untuk beribadah, dengan tatacara tertentu.


Waktu I’tikaf



I’tikaf boleh dikerjakan pada semua waktu, baik dibulan Ramadhan maupun di waktu-waktu yang lain. 
Dan mengenai lama pelaksanaannya, ulama berbeda pendapat. 
Menurut madzhab Hanafi, I’tikaf sunnah itu sekurang-kurangnya dikerjakan selama tempo yang singkat, yakni tidak ada ukurannya. Jadi menurut mahzab ini, I’tikaf sudah terlaksana hanya berdiam diri didalam masjid disertai niat meskipun hanya beberapa menit.

Sedangkan menurut Malikiyah, I’tikaf itu sekurang-kurangnya sehari semalam. Dan pelakunya wajib berpuasa. jadi, menurut mazhab ini, tidak sah I’tikaf yang tidak diiringi dengan puasa.

Sedangkan Syafi’iyah dan Hanabilah memiliki pendapat yang hampir serupa, yakni I’tikaf itu sekurang-kurangnya dikerjakan sekedar waktu yang dibutuhkan untuk tuma’ninah ketika shalat.

Kesimpulannya, ulama sepakat bahwa I’tikaf boleh dikerjakan di dalam dan di luar Ramadhan. 
Dan jumhur ulama berpendapat, bahwa I’tikaf itu sah dilakukan meskipun dalam tempo yang singkat.


Tempat I’tikaf

Masjid jami’ sah untuk dipergunakan beri’tikaf di dalamnya, hal ini disepakati oleh seluruh ulama’. Berdasarkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud, “I’tikaf tidak sah kecuali dimasjid jama’ah.” 
Sedangkan yang disepakati sebagai tempat I’tikaf bagi kaum wanita adalah masjid di rumahnya, yaitu tempat yang dikhususkan untuk shalat baginya. Namun, bila kaum wanita beri’tikaf di masjid, hendaknya dipasang tabir.

Menurut para Imam Madzhab, tempat yang sah untuk I’tikaf  yaitu :



1. Madzhab Maliki: harus di masjid jami’ (masjid yang dipakai shalat Jum’at). Karena itu beri’tikaf di masjid keluarga tidak sah, sekalipun yang beri’tikaf tadi wanita. Juga tidak sah di dalam Ka’bah.

2. Madzhab Hanafi: Mereka berpendapat, dalam masalah masjid disyaratkan hendaklah berupa masjid jamaah, yaitu masjid yang mempunyai imam dan muadzdzin, baik di masjid itu didirikan shalat lima waktu ataupun tidak. 
Ini berlaku apabila orang yang beri’tikaf tadi laki-laki. Sedangkan bagi wanita, maka hendaklah ia beri’tikaf di masjid keluarga yang memang disediakan untuk tempat shalatnya; dan makruh beri’tikaf di masjid jamaah tadi. 
Ia tidak sah beri’tikaf di selain tempat shalatnya yang telah disediakan. Baik ia (sengaja) menyediakan masjid untuknya di rumahnya atau membuat tempat khusus baginya untuk shalat.


3. Madzhab Syafi’i : berpendapat bila orang yang beri’tikaf tadi mempunyai dugaan bahwa masjid tersebut di-wakafkan untuk kepentingan masjid semata. yakni tidak untuk yang lain, maka sah bagi laki-laki dan perempuan ber-i’tikaf di dalamnya, sekalipun bukan masjid jami’ atau tidak boleh untuk umum.


4. Madzhab Hanbali : Mereka berpendapat, i’tikaf itu sah dilaksanakan di setiap masjid bagi laki-laki dan perempuan. Tidak ada ketentuan syarat dalam masalah masjid. itu ada shalat fardhu yang wajib dilaksanakan dengan berjamaah. 
Bila hendak ber-I’tikaf dalam satu masa tertentu itu ada shalat fardlu yang wajib dilaksanakan berjamaah, maka ketika itu i’tikafnya tidak sah kecuali di masjid yang didirikan (shalat) jamaah, sekalipun hanya dengan dua orang mu’takif (orang yang melaksanakan i’tikaf).

Mengenai hal ini ulama berbeda pendapat, jadi madzhab Maliki dan Syafi’I membolehkan I’tikaf dimasjid manapun. Sedangkan, madzhab Hanafi dan Hambali mensyaratkan masjid tersebut harus masjid jami’, yakni masjid tempat dilaksanakannya shalat Jum’at. 
Karena bila I’tikafnya tidak dikerjakan di masjid Jami’, akan batal manakala dia pergi menghadiri kewajiban shalat jum’at. 
Adapun I’tikaf di masjid rumah (mushalla kecil) mayoritas ulama tidak membolehkan.


Macam-macam I’tikaf

I’tikaf ada dua macam:

1. I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang dinadzarkan. Barangsiapa bernadzar untuk melakukan i’tikaf, maka ia wajib beri’tikaf.

2. I’tikaf sunnat, yaitu selain i’tikaf wajib di atas. Tentang (kemungkinan) menjadi mu’akkad pada suatu saat dan tidak pada saat yang lain.


Hukum I’tikaf



Menurut madzhab Hanbali: sunnat muakkad pada bulan Ramadhan; dan lebih muakkad lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Madzhab Syafi’i : sunnat muakkad pada bulan Ramadhan dan lainnya; dan yang lebih muakkad lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. 
Masa i’tikaf itu harus lebih dari sekedar batas waktu membaca: Subhanallah. I’tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja, dengan tanpa batasan lamanya seseorang ber-I’tikaf. 
Seseorang yang masuk ke dalam masjid dan ia niat ber- I’tikaf maka sah-lah I’tikafnya.

1. Madzhab Hanafi: sunnat kifayah muakkad pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan mustahab pada selain waktu tersebut.

2. Madzhab Maliki: mustahab pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya berdasarkan pendapat yang masyhur. 
Akan tetapi pada bulan Ramadhan (dihukumi) muakkad secara mutlak; dan yang lebih muakkad lagi adalah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Seluruh ulama’ sepakat bahwa I’tikaf adalah sunnah kecuali yang dinadzarkan. 

3. Sedangkan I’tikaf menurut Hanafiyah itu terbagi menjadi tiga macam : Wajib, sunnah muakkad dan mustahab.

I’tikaf yang wajib adalah yang dinadzarkan. sedangkan yang sunnah muakkad adalah I’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Dan yang mandhub/sunnah adalah yang dikerjakan pada waktu-waktu selain itu. 
Batas minimal i’tikaf itu sehari semalam berdasarkan pendapat yang rajih/kuat.


Syarat dan Rukun I’tikaf

Ada dua penjelasan yang berbeda mengenai hal ini. Sebagian ulama memisahkan antara rukun dan syarat I’tikaf, sedangkan dalam penjelasan yang lain, ulama cendrung menggabungkan antara Syarat dan rukun I’tikaf.



Dalam al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah jilid 5, pada halaman 208-209 disebutkan, bahwa syarat I’tikaf itu ada 5, yakni : 
1. Islam
2. Berakal / tamyiz
3. Suci dari haid
4. Suci dari nifas
5. Suci dari junub

Sedangkan rukun I’tikaf itu menurut jumhur (mayoritas) ulama ada empat, yaitu : 
1. Orang yang beri’tikaf, 
2. Niat, 
3. Tempat beri’tikaf dan berdiam di masjid.

Sedangkan Hanafi berpendapat, rukun I’tikaf hanya berdiam di masjid.

Dalam kitab Fiqh al Islami wa Adillatuhu (3/133-134), untuk sahnya I’tikaf disyaratkan hal-hal berikut :

1. Islam. Tidak sah dilakukan oleh orang-orang kafir sebab I’tikaf adalah cabang dari iman.

2. Berakal atau tamyiz. Tidak sah dilakukan oleh orang gila atau sejenisnya, juga tidak sah dilakukan oleh bocah yang belum mumayyiz.

3. Bertempat dimasjid. I’tikaf tidak sah dilakukan dirumah atau tempat selain masjid, berdasarkan hadits Rasulullah;

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتِ :وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ ، وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِى مَسْجِدٍ جَامِعٍ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُد)

“Dan tiada I’tikaf kecuali dengan puasa (ramadhan), dan tiada I’tikaf kecuali di masjid jami’ (H.R. Abu Daud)


4. Niat. Ulama bersepakat I’tikaf tidak sah tanpa adanya niat, niat ber-I’tikaf karena Allah, misalnya dengan mengucapkan:

(نَوَيْتُ اْلاِعْتِكاَف للهِ تَعاَلَى)

“Aku berniat I’tikaf karena Allah.”


Menurut Madzhab Syafi’i , niat itu tidak disyaratkan dilakukan ketika tetap di dalam masjid , sekalipun secara hukumnya saja. 
Maka ini juga mencakup orang yang bolak-balik di masjid. Karenanya, niat itu cukup (sah) dilakukan ketika lewat, berdasarkan pendapat yang mu’tamad (paling kuat dan dipergunakan).


5. Suci dari junub, haid dan nifas. Ini adalah syarat menurut jumhur.


Berbeda menurut Madzhab Maliki dan Madzhab Hanafi:

Madzhab Hanafi: berpendapat bahwa bersih dari junub merupakan syarat bolehnya i’tikaf, bukan syarat sahnya.


Madzhab Maliki: berpendapat bahwa suci dari junub bukanlah syarat sahnya i’tikaf, melainkan hanya syarat boleh diam di masjid. Bila di tengah-tengah i’tikafnya tejadi junub karena suatu sebab yang tidak membatalkan i’tikaf, seperti bermimpi, sementara di masjid tidak ada air, maka ia wajib keluar untuk mandi di luar masjid, dan setelah mandi hendaklah ia iangsung kembali lagi. 

Jika tidak segera kembali ke masjid setelah mandi, maka i’tikafnya batal, kecuali bila keterlambatannya itu karena ada keperluan yang menyangkut kebutuhannya seperti memotong kuku atau mencukur kumisnya, maka i’tikafnya tidak batal.


Sedangkan suci dari haid dan nifas, mutlak sebagai syarat bagi sahnya i’tikaf, dinadzarkan ataupun tidak, karena di antara syarat sahnya i’tikaf adalah berpuasa, sementara haid dan nifas adalah penghalang bagi sahnya puasa.


Bila di tengah-tengah i’tikafnya tejadi haid atau nifas, maka ia wajib keluar dari masjid, kemudian kembali lagi setelah keduanya (haid/nifas) itu berakhir untuk menyempurnakan i’tikaf yang telah ia nadzarkan atau ia niatkan ketika masuk masjid. 

Untuk yang dinadzarkan, hendaklah ia beri’tikaf (untuk menyempurnakan) sisa hari-hari i’tikafnya juga mengganti hari-hari udzurnya.

6. Izin suami bagi istrinya.
I’tikaf seorang wanita tanpa seizin suaminya tidak sah, sekalipun i’tikafnya itu dinadzarkan. 
Baik ia tahu pasti bahwa suaminya itu membutuhkannya untuk senggama atau menduganya demikian atau tidak.


Madzhab Syafi’i dan Madzhab Maliki berbeda pendapat dalam masalah ini.

Madzhab Syafi’i : Mereka berpendapat, bila seorang wanita ber-I’tikaf tanpa seizin suaminya, maka i’tikafnya tetap sah tapi ia berdosa. Dan dimakruhkan ber’itikaf sekalipun diizinkan, bila ia seorang yang cantik.


Madzhab Maliki berpendapat, tidak boleh bagi wanita bernadzar i’tikaf atau melakukan i’tikaf tathawwu’ tanpa seizin suaminya, bila ia tahu atau mempunyai dugaan bahwa suaminya itu membutuhkannya untuk senggama. 

Bila ia lakukan itu tanpa seizinnya, maka i’tikafnya (tetap) sah, dan sang suami boleh membatalkan i’tikaf istrinya dengan alasan untuk senggama, selain itu tidak.


Perkara Wajib, Etika, Yang Makruh Dan Hal-Hal Yang Membatalkan I’tikaf


a) Wajib

Para fuqaha sepakat bahwa dalam I’tikaf wajib, pelaksana harus tetap berada di dalam masjid agar terwujud rukun I’tikaf, yaitu tinggal dan berdiam diri. Dia tidak boleh keluar kecuali dengan idzin syar’I , darurat, atau kebutuhan. Tetapi kalangan hanafi membolehkan keluar bagi I’tikaf nafilah.

b) Etika dan sunnah I’tikaf
- Bagi orang yang ber I’tikaf dianjurkan mengisi waktu sebisa mungkin, siang malam, dengan shalat, membaca al-Quran, berdzikir, dan ibadah atau amal sholeh yang lainnya di wilayah sekitar masjid.
- Disunnahkan berpuasa bagi orang yang beri’tikaf menurut jumhur.

- Disunnahkan I’tikaf itu dikerjakan dimasjid jami’, yakni menurut madzhab Maliki dan syafi’I yang tidak mensyaratkan I’tikaf harus di masjid Jami’. 
Sedangkan madzhab Hanafi dan Hambali mewajibkan I’tikaf harus dikerjakan di masjid Jami’.

- Disunnahkan I’tikaf dibulan Ramadhan.

- Orang yang ber I’tikaf disunnahkan tinggal di masjid pada malam idul fitri apabila I’tikafnya bersambung dengan malam tersebut.

- Orang yang beri’tikaf hendaknya menjauhi segala perkataan dan perbuatan yang tidak berkaitan dengan dirinya serta tidak boleh banyak berbicara. 
Sebagaimana yang disebutkan oleh hadits, 
“Sebagian dari ciri bagusnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak ada berhubungan dengan dirinya.” (HR. Tirmidzi)



c) Hal-hal yang Makruh dalam I’tikaf

1. Meninggalkan sebagian etika diatas adalah makruh.

2. berI’tikaf tanpa perlengkapan yang jika tidak dibawa, maka akan merepotkannya.

3. menghadirkan barang dagangan dimasjid.

4. Diam, tidak berbicara sama sekali dengan seseorang: “Seseorang tidak boleh menutup mulut (diam) selama sehari semalam.” (HR. Abu Dawud)

5. Mengisi waktu dengan segala perbuatan selain dzikir, membaca al Quran dan shalat.

6. mengucapkan salam kepada yang jauh, tapi boleh mengucapkan salam kepada orang yang dekat.

7. Makruh masuk rumah yang disitu ada istrinya pada saat dia keluar dari masjid atau buang hajat, agar dia tidak terdorong melakukan suatu perbuatan dengan istrinya yang membatalkan I’tikafnya.


d) Hal-hal yang membatalkan I’tikaf

- Keluar tanpa udzur yang syar’I (misalnya keluar untuk berjual beli), atau tanpa ada dorongan untuk menunaikan hajat alami ( buang air kecil atau besar), atau tanpa ada keadaan darurat (seperti robohnya masjid).

- Jima’. Menurut jumhur ulama, meskipun ini dilakukan karena lupa atau dipaksa, baik pada siang atau malam hari, maka batallah I’tikafnya. Sedangkan bila sengaja, batal menurut ijma’ (kesepakatan) ulama.

- Murtad.

- Mabuk dengan sengaja.

- Pingsan dan gila dalam tempo yang lama (hingga berhari-hari) ini menurut jumhur ulama’.

- Haid dan Nifas bagi wanita.

- Melakukan dosa besar.



Dalam pandangan hukum islam, para ulama dan jumhur ulama berbeda pendapat tentang definisi, hukum, tempat maupun rukun i’tikaf. 
Namun secara garis besar 4 imam madzhab menganjurkan beri’tikaf untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena dalam i’tikaf kita bisa mengambil berbagai hikmah, seperti;

1. Mendidik diri kita lebih taat dan tunduk kepada Allah .

2. Seseorang yang tinggal di masjid mudah untuk memerangi hawa nafsunya, karena masjid adalah tempat beribadah dan membersihkan jiwa.

3. Masjid merupakan madrasah ruhiyah yang sudah barang tentu selama sepuluh hari ataupun lebih hati kita akan terdidik untuk selalu suci dan bersih.

4. Tempat dan saat yang baik untuk menjemput datangnya Lailatul Qadr.

5. I’tikaf adalah salah satu cara untuk meramaikan masjid.

6. Dan ibadah ini adalah salah satu cara untuk menghormati bulan suci Ramadhan
Kita sebagai generasi penerus seharusnya bisa membiasakan diri untuk menjalankan ibadah sunnah yang dianjurkan, seperti i’tikaf ini, agar semakin dekat dengan Allah SWT serta meramaikan masjid untuk kegiatan ibadah selain sholat.

Demikian artikel  tentang I’tikaf dalam 4 madzhab yang penulis rangkum dari jas hijau.wordpress.com, semoga bisa memberikan pemahaman lebih kepada kita tentang pengertian, macam-macam, hukum, syarat dan rukun beri’tikaf.

Posting Komentar untuk "Pengertian dan Serba-serbi I'tikaf Dalam Tinjauan 4 Mazhab"