Fase Dasar Dalam Menuntut Ilmu - REVORMER.COM
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
WPDealer 728x90

Fase Dasar Dalam Menuntut Ilmu

*Fase Dasar Dalam Menuntut Ilmu

Syekh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir, pernah ditanya satu fenomena yang sedang menjangkit umat di era teknologi sekarang, termasuk di Indonesia: apakah belajar dari internet, seperti mendengarkan satu penjelasan kitab tertentu dari seorang guru via Youtube, bisa disebut bahwa “saya sudah belajar atau mengkhatamkan kitab dari seorang guru ?"

Beliau menjawab, “ia tidak bisa menisbatkan pada dirinya bahwa ia telah belajar kitab tersebut dari seorang guru apabila belum melewati fase pembasisan (al-ta’sîs).”

Fase pembasisan merupakan tingkatan yang harus dilalui oleh seseorang yang hendak belajar suatu ilmu tertentu sebelum mengembangkan diri dengan bacaan lebih banyak.

Fase pembasisan, di era belakangan, kurang diperhatikan lantaran seseorang berkeinginan menguasai disiplin (fan) ilmu secara cepat, instan dan otodidak, termasuk via internet.

Seperti diulas oleh sarjana Islam, penguasaan terhadap ilmu secara baik harus melalui fase fase.

Ulama kita menetapkan sebuah metode yang dirangkum dari pengalaman sistem pembelajaran selama berabad abad lamanya. Penguasaan ilmu secara baik harus melewati tiga fase: marhalat al-ta’sîs (pembasisan), marhalat al-binâ’ al-ilmî (pengembangan) dan baru ke fase marhalat nasyr al-ilmi (penyebaran).

Tiga fase ini ibarat anak tangga: kita tak akan bisa pada tahap pengembangan sebelum fase pembasisan.

Fase pembasisan butuh kesabaran, ketekunan keuletan. Seseorang yang bisa melewati fase ini, anak tangga selanjutnya akan terasa mudah. Pada tahap pengembangan, ia bisa membaca kitab kitab dengan konten ilmu yang lebih banyak tanpa kesulitan memahami istilah istilahnya.

Pada tahap pengembangan ini pula “filter pengetahuan” sudah bekerja secara otomatis lantaran gambaran utuh materi dasar yang dipelajari di fase awal. Namun tahap pengembangan— tanpa penguasaan terhadap materi dasar—meniscayakan “gambaran ilmu” menjadi sporadis dan tidak sistematis.

Jika ditelaah secara baik, fase dasar harus mempunyai dua karakter khusus—yang masing masing tersusun dari elemen penguat:

Pertama, pendasaran ilmu dimulai dengan belajar secara gradual (taraqqî): step by step.

Metode“gradual” (taraqqî) merupakan metode yang ditempuh oleh ulama ulama kita, dan terbukti ampuh untuk penguasaan fan ilmu secara baik di tahap selanjutnya.

Pembelajaran ilmu secara gradual umumnya dimulai dari proses menghapal dan mempelajari kitab matan yang kecil-kecil, kemudian naik pada penjelasan per item yang tertulis dalam matan (fase pengembangan).

Nomenklatur matan sendiri didefinisikan dengan untaian ringkas yang memuat hal hal mendasar dalam sebuah ilmu. Karena ringkas, terkadang ia juga disebut mukhtashar. Kriteria khusus dari sebuah matan adalah harus bebas dari dalîl dan ta’lîl (alasan pensyariatan hukum/ratio-legis).

Dalil dan ta’lîl menjadikan uraian menjadi demikian panjang hingga pemula akan tercampur konsepsi pengetahuan dasarnya.

Matan sendiri ada dua: mantsûrah (berbentuk kalimat/prosa) dan mandzûmah (berbentuk bait). Setiap disiplin ilmu mempunyai matan representatif: nahwu, hadis, fiqh, mantiq, dst. Dalam nahwu ada Jurumiyyah, fiqh ada safînah, hadis ada bulûgh al-marâm atau al-arbâin al-nawâwiyyah, mantiq ada sullam, dan seterusnya.

Setiap matan umumnya punya penjelasan yang disebut syarh, dan catatan untuk syarh disebut hâsyiyâh (catatan pinggir) sebagai penjelasan tambahan untuk syarh, sedang catatan untuk hâsyiyâh disebut taqrîr—atau kerap disebut hâsyiyât al-hâsyiyâh.

Proses belajar matan muktabar—yang merangkum ilmu secara global—hakikatnya bisa memberikan gambaran komprehensif mengenai bangunan sebuah ilmu. Bangunan ilmu ini merupakan pengetahuan dasar yang harus diketahui dalam fase permulaan penguasaan ilmu terkait. Ini merupakan pondasi.

Secara teoritis, ketika ia sudah hapal materi dasar sebuah ilmu, di fase selanjutnya, penjelasan penjelasan yang dibaca di fase pengembangan akan tersambung dengan sendirinya ke materi dasar yang ia dapat di fase pembasisan. Maka Al-Akhdlari, pengarang Sullam, mengatakan dalam bait awalnya,
“Semoga bait bait ini memberikan manfaat pada pelajar pemula ilmu mantiq #
Dan bisa mengantarkan pemula pada kitab kitab yang memuat keterangan lebih banyak (al-muthawwalât).”

Dua bait al Akhdlari ini mengarah pada kategorisasi kitab yang memuat ilmu keislaman dikelompokkan menjadi dua: mukhthashar (kitab ringkas), dan muthawwal (kitab yang penjelasannya panjang). Secara terminologis, kitab mukhtashar adalah kitab yang memuat redaksi sedikit akan tetapi mempunyai banyak muatan makna.

Umumnya, sebelum seseorang membaca kitab muthawwal, kitab mukhtashar sudah harus terlebih dahulu dipelajari. Hal itu karena kitab mukhtashar merupakan kunci seseorang bisa memahami muthawwal. Maka kalau boleh penulis sebut, kitab mukhtashar merupakan pondasi awal yang akan sangat berpengaruh pada penguasaan seseorang terhadap materi keilmuan tertentu di tahap selanjutnya. Al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi dalam Adâb al-Dun-ya wa al-Dîn mengatakan,
“sesungguhnya ilmu-ilmu itu mempunyai permulaan. Permulaan ini akan mengantarkan pada titik akhir. Ilmu juga mempunyai pintu pintu. Pintu pintu ini yang akan mengantarkan pada hakikat ilmu tersebut. Maka seorang pencari ilmu (thâlib) harus memulai dari permulaan agar bisa sampai di titik akhir, dan melewati pintu pintunya agar sampai pada hakikat.

Maka jangan belajar akhir sebelum awal, dan jangan belajar hakikat tanpa melewati pintu; ia tak akan pernah bisa sampai ke sana. Karena bangunan tanpa pondasi tak akan bisa berdiri, dan buah tanpa ditanam tak akan bisa dipetik.”

Dengan menyebut fase awal sebagai pondasi, tentu saja akan menentukan kuat atau lemahnya sebuah bangunan. Jika sebuah ilmu diibaratkan rumah, dengan fase pendasaran ini, seseorang bisa membangun rumah secara kokoh, mengetahui struktur rumah dari luar, mengetahui secara baik isi rumah tersebut, dan hapal di luar kepala meskipun tanpa melihat bentuk rumah.

Al-Ashma’i mengatakan, “jika pondasi ilmu sudah menancap dalam hati, maka lisan akan dengan sendirinya berucap cabang cabangnya.” Memahami matan berarti membangun pondasi. Itu karena kitab matan sendiri sudah melewati proses penyuntingan panjang.

Ia diproyeksikan memang sebagai rangkuman secara global yang memuat seluruh pembahasan ilmu secara ringkas. Oleh sebab itu, umumnya kitab matan dikarang oleh ulama kurun akhir, yakni setelah bangunan sebuah ilmu berdiri secara sempurna.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam muqaddimah Bulûgh al-Marâm mengatakan,
“ini adalah kitab ringkas yang memuat pokok pokok hadis hukum. Aku sudah memilah dengan teliti, sehingga orang yang menghapal bisa lebih unggul dari teman temannya. Dan orang yang baru memulai belajar bisa terbantu.."

Ibnu Hajar di atas menyebut empat point:

pertama, mukhtashar memuat pokok materi; Kedua, mukhtashar sudah melewati proses penyuntingan;

Ketiga, menghapal memberikan nilai lebih dari yang tidak menghapal;

Keempat, anjuran bagi tahap pemula untuk mempelajari mukhtashar.

Dua point pertama berkaitan dengan objek. Point ketiga dan keempat berkaitan dengan subjek. Jika kita tekankan pada point yang berkaitan dengan subjek artinya, pelajar pemula harus menggabungkan dua metode yang disebutkan oleh Ibnu Hajar di point ketiga dan keempat: pembelajaran suatu kitab matan harus pula dibarengi dengan menghapal matan tersebut.

Seorang pemula tidak sekedar memahami materi, tapi juga hapal materi dasar yang tertulis dalam matan.

Bahkan hapal matan menjadi karakter khusus dalam tahap pendasaran.

Maka ada ungkapan dari Al-Ashma’i yang terkenal, “setiap ilmu yang tidak bisa aku bawa serta di kamar mandi, maka itu bukanlah ilmu.”. Atau ungkapan, man hafidza al-mutûn hâza al-funûn (siapa yang menghapal matan, maka ia akan menguasai fan).

Demikian pentingnya proses menghapal matan ilmu, sampai banyak ulama menuliskan kiat khusus: dari mulai makanan, minuman, keadaan, tempat, doa doa, kitab yang dihapal, semuanya dibahas secara detail.

Ibnu Juraij mengutip
al-Zuhri mengatakan, “kamu harus banyak mengkonsumsi madu. Madu itu baik untuk menghapal.”

Imam Syafi’i di satu kesempatan mengeluhkan jeleknya hapalan pada Waki’, ia dianjurkan untuk meninggalkan maksiat.

Imam Zuhri mengatakan, siapa yang ingin hapalan hadisnya baik,hendaknya ia mengkonsumsi kismis.

Dalam sebuah ungkapan terkenal, setiap yang hapal ia menjadi pemuka (kullu hâfidzin imâmun).

Kedua, ada guru yang silsilah keilmuannya bersambung sampai ke Rasulullah Saw., Dengan guru, proses pembelajaran tidak berjalan satu arah (itijâh wâhid).

Ada metode al-qirâ’ah alâ al-syaikh, talaqqi: hingga pencari ilmu akan diluruskan pemahaman yang keliru, pengucapan sebuah istilah yang mata rantainya bersambung ke penulis kitab sampai pada Nabi, penggambaran yang benar (tashawwur shahîh) mengenai konten ilmu terkait, dan lain seterusnya. Menurut al-Dzahabi, ketika seseorag menyandarkan pengetahuannya hanya pada kitab, maka ia hanya akan dipenuhi prasangka prasangka (auhâm): makna apa yang dikehendaki oleh penulis kitab, atau membaca yang tepat bagaimana.

Oleh sebab itu, ada ungkapan terkenal, “siapa yang belajar fiqh dari kitab, maka ia akan menghilangkan hukum.”

Al Habib Salim bin Abdullah Al-Syathiri mengatakan,“Siapa yang belajar fikih hanya dari buku, pasti ia akan merusak hukum.

Siapa yang mempelajari pengobatan dari buku, ia membunuh manusia. Siapa yang belajar falak dari buku, ia akan merusak susunan hari dan malam.

Dan semua yang belajar ini semua dari guru, maka ia selamat.”

Ilmu pada awalnya di hati ulama. Kemudian dituangkan dalam kitab. Maka (untuk memahami kitab), kunci pembukanya juga ada pada ulama.

Menurut Syekh Usamah al-Azhari, ilmu ketika dituliskan dalam sebuah kitab, ia menjadi barang mati. Barang mati itu bisa hidup dengan suara seorang guru, ekspresi wajah, atau isyarat tangan.

Lantaran ini—menurut Syekh Usamah—seorang murid bisa melihat setiap redaksi dalam buku seolah bernyawa. Ruh dari buku akan semakin kuat tatkala ada interaksi antara guru dan murid yang terlibat dalam pembahasan ilmu.

Oleh sebab itu, syekh Ali Jum’ah menyebut keharusan berkumpulnya guru dan murid dalam satu majlis di fase pembasisan.

Berkumpul dalam satu majlis bisa meminimalisir kesalahan.

Fase menuntut ilmu dengan guru, diawali mendengar, memahami, menghapal, kemudian mengutarakan (al-ta’bîr). Masing masing memungkinkan untuk dihinggapi kesalahan.

Seperti kasus Abdullah Ibnu Umar, saat menceritakan hadis Nabi, “seorang mayit disiksa lantaran keluarganya menangisi di rumah.”

Diralat oleh Aisyah, bahwa Ibnu Umar salah dengar. Yang betul adalah, “seorang mayit disiksa sementara keluarganya menangis di rumah.”

Salah mendengar, akan salah memahami. Salah memahami, efeknya hapalannya tidak benar, dan pengungkapanya juga akan tidak benar.

Seorang guru tidak cuma mengajari ilmu, akan tetapi yang lebih penting, bersama guru akan menumbuhkan adab/etika.

Maka mulâzamat al-syaikh (membersamai syekh) penunjang utama dalam membuahkan adab. Adab dengan guru mempunya porsi penting di sini. Akan ada pembahasan, bagaimana hubungan seharusnya duduk, berbicara, berinteraksi, makan, bertanya, dengan seorang guru.

Bahkan bagaimana berinteraksi dengan anak dan keluarga guru. Ada sebagian ulama yang beranggapan, sebesar apa etikamu dengan guru, itu akan berpengaruh terhadap pemahamanmu terhadap ilmu yang disampaikan.

Karena keberkahan ilmu bergantung pada ridla guru terhadap muridnya.

Maka Sayyid Muhammad Ibn al-Alawi mengatakan, “menancapnya ilmu dengan cara pengulangan belajar (mudzâkarah), barakahnya melalui khidmah, dan kemanfaatanya ada pada ridla guru (ridlâ al-syaikh).”

Pemahaman terhadap fase pembasisan ilmu akan mengantarkan kita memahami konklusi penting: ilmu yang dipelajari dalam waktu singkat, tentu bangunannya tidak sempurna.

Penyebarannya pun tidak memberikan kemanfaatan signifikan. Gradualitas dalam fase awal meniscayakan waktu yang tidak sebentar: tidak bisa ditempuh hanya dengan belajar satu atau dua bulan.

Dalam ungkapan yang terkenal, “seseorang yang belajar secara tergesa gesa, ilmu itu akan hilang dengan tergesa gesa juga.

”Al-Khatib al-Baghdadi mengungkapkan, seyogyanya pembelajaran ilmu diambil sedikit demi sedikit. Semakin sedikit, semakin meresap.

Oleh sebab itu membutuhkan waktu yang lama. Menurut Imam Zuhri, ilmu ini dibangun dari satu dan dua hadis, atau satu dan dua masalah.

Maka untuk mencapainya, seyogyanya memulai dengan itu semua (satu hadis/masalah). Imam Syafi’i mengatakan dalam syairnya yang terkenal,

“Saudaraku, kalian tidak bisa mendapatkan ilmu, terkecuali dengan enam hal: waktu yang lama, dan petunjuk guru.”

Termasuk mempelajari ilmu dari internet, ia akan menghilangkan beberapa fase yang harus dilewati sebagai anak tangga:

hilangnya gradualitas dalam belajar, atau pemilihan materi yang dikaji kurang tepat, tidak bisa verifikasi ilmu di depan guru, atau tidak memahami etika interaksi dengan guru.

Guru ini bisa menakar kemampuan muridnya: mereka punya firasat sangat tepat, bahwa seorang murid sudah kapabel untuk mengajar atau belum, sudah menguasai materi atau belum, dst.

Maka Imam Malik bi Anas, Imam Dar al-Hijrah, tidak mengajar terkecuali setelah mendapat persetujuan dari 70 gurunya.

Izin dari guru untuk mengajar dan mata rantai keilmuan yang bersambung inilah yang disebut sanad al-dirâyah.

Jika fase pembasisan telah dirasa cukup, di tahap selanjutnya, ia bisa mengembangkan dengan mendengarkan ilmu dari mana saja. Karena filter pengetahuan sudah berfungsi dengan baik.

Ia bisa memilih konten mana yang harusnya diambil manfaat, sekedar perbandingan, atau untuk memperluas pengetahuan.

Syekh Ali mengatakan, setelah kamu belajar dan menghapal matan dengan baik, bacalah apa saja. Syarahnya, hâsyiyahnya, taqrîrnya, dan seterusnya.

Termasuk menambah wawasan dari tulisan, pengajian, atau kajian di internet. Namun jika belum melewati fase ini, menurut Syekh Ali lagi, janganlah sekali kali membaca apa saja tanpa izin dari guru—terkecuali materi yang sedang dipelajari.

Kita tak perlu terkecoh dengan seseorang yang berbicara materi ilmu di tahap pengembangan—padahal tanpa pernah melewati pembasisan.

Ilmu tersebut akan seperti debu. Oleh sebab itu, Ibnu Qayyim al-Jawziyah mengatakan, “orang yang berbicara hukum hukum rumit tanpa mengetahui materi dasarnya (globalnya), sesungghnya ia hamba yang terperdaya.”
(Sumber tulisan : Gus Ahmad H.Fahmi)

Posting Komentar untuk "Fase Dasar Dalam Menuntut Ilmu "